Free downloads software, games and other files free for you

Free blog template

Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat). Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah:
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagai atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jism). Benda yang terakhir ini (jism) terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
Rasulullah bersabda: “Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Al-Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata:
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah:
“Engkau Ya Allah azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”.
Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:
“Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).
Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam kitabnya al-Ghun-yah, al-Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al-Imam Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi.
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -Semoga Allah meridlainya- (w 321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya. Melainkan maksud Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w 324 H) -Semoga Allah meridlainya- berkata:
“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat).
Al-Imam al-Asy’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan al-Imam al-Asy’ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash: “Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan al-Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya, juga sebagai bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua keyakinan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ (konsensus) seluruh orang Islam sebagaimana dikatakan oleh al-Imam as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab al-Hawi Li al-Fatawi, dan Imam lainnya. Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti al-Imam al-Junaid al-Baghdadi (w 297 H), al-Imam Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H), Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati; mereka semua selalu mengingatkan orang-orang Islam dari para pendusta yang menjadikan tarekat dan tasawuf sebagai sebagai wadah untuk meraih dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-Wujud dan Hulul.
Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy, adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir, sebagaimana hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama “al-‘Aqidah ath-Thahwiyyah”. Beliau berkata:
“Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”.
Perhatian….!
Waspadai.. Keyakinan Tasybih [Keyakinan Allah serupa dengan makhluk-Nya] yang kian hari semakin merebak… Jangan sampaai merusak genarasi kita!!!?

On | 0 Comment

Salah seorang anak Umar bin Khattab telah diejek dan dibuli oleh teman-temannya kerana memakai baju yang bertampal-tampal dan buruk.

"Tidak ada gunanya mempunyai ayah menjadi kepala negara, bajunya tampal seribu," kata teman-teman anak Umar.

Kerana sudah tidak tahan dengan ejekan teman-temannya, anak Umar itu pun mengadu kepada ayahnya. Khalifah Umar sangat kasihan kepada anaknya yang mengadu itu, tapi beliau tidak dapat berbuat apa-apa. Maklumlah beliau tidak mempunyai simpanan apa-apa, sedang gajinya sebagai kepala negara hanya 1 dirham saja sehari dan ketika itu belum sampai masa gajian. Umar pergi ke Baitul Mal untuk meminjam sedikit wang dan berjanji akan membayarnya pada bulan depan apabila sudah menerima gaji.

"Bukan saya tidak mahu mengeluarkan wang Baitul Mal, tapi apakah Amirul Mukminin sudah yakin masih akan hidup sehingga bulan depan? Dan jika Amirul Mukminin mati sebelum sampai masa gajian yang akan datang, siapa yang akan membayarnya? kata petugas Baitul Mal.

Mendengar itu, menangislah Khalifah Umar bin Khattab sehingga air matanya menetes membasahi pipinya. Beliau tidak jadi untuk meminjam wang dan pulang dengan perasaan sedih sambil mengenang kematian.

On | 0 Comment

Seorang lelaki telah bermimpi menggauli seorang perempuan di dalam tidurnya sehingga junub. Dia merasa puas dan bangga walaupun hanya bermimpi. Kebetulan pula perempuan yang dimimpikan itu sudah punya anak lelaki yang sudah dewasa. Maka pergilah dia kepada anak lelaki itu dan memberitahukan mimpinya.

"Aku bermimpi telah berjunub bersama ibumu." kata lelaki yang bermimpi.

Anak lelaki itu marah-marah kerana merasa lelaki yang bermimpi itu telah mencabuli ibunya.

"Kalau begitu engkau telah berbuat jahat, engkau mesti dihukum." kata anak lelaki itu membela ibunya.

"Aku kan hanya bermimpi....."

Kedua-dua lelaki itu bertengkar yang berkepanjangan. Yang bermimpi mengatakan tidak bersalah, sedang anak kepada perempuan yang dimimpikan menganggapnya salah. Akhirnya merek membawa masaalahnya kepada Ali bin Abi Talib untuk mencari keadilan.

"Lelaki ini mengaku telah bermimpi menggauli ibuku."

"Betulkah itu?" tanya Ali.

"Betul." jawab lelaki yang bermimpi.

"Dia mesti dihukum kerana telah berbuat jahat."

"Aku hanya bermimpi..."

"Baiklah, engkau bawa lelaki yang bermimpi ini dan berdirikan di bawah sinar matahari. Kemudian kau pukullah bayang-bayangnya." kata Ali bin Abi Talib.

On | 0 Comment

Kelahiran Muawiyah yang akan menjadi orang besar sudah diramal oleh seorang tukang tilik di zaman jahiliyah. Hindun bin Utbah ibu kepada Muawiyah pernah berkahwin dengan seorang lelaki bernama Fakih bin Al-Mughirah sebelum berkahwin dengan Abu Sufyan. Fakih seorang Arab yang sangat suka menerima tetamu, bahkan dia punya satu rumah khusus yang disediakan untuk tetamu dan orang musafir. Rumah tersebut dibuka siang dan malam dan boleh ditempati oleh tetamu dan musafir tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu.

Suatu hari, rumah tetamu tersebut sedang kosong, maka Fakih membawa Hindun beristirehat dan berbaring-baring di rumah tersebut. Sebentar kemudian Fakih keluar untuk suatu keperluan dan Hindu tertidur di situ sementara menunggu suaminya. Tiba-tiba datang seorang lelaki tetamu yang ingin beristirehat di rumah tersebut dan masuk ke dalam, tapi dia melihat seorang perempuan sedang tidur di dalamnya. Oleh kerana itu, dia segera keluar semula. Ketika lelaki itu keluar, Fakih datang dan melihatnya. Kecurigaan pun timbul di dalam hatinya, mukanya berubah menjadi merah. Fakih terus masuk dan menendang isterinya yang sedang tidur. Hindun terkejut dan cuba bangun dalam keadaan terhoyong-hayang.

"Ada apa? Ada apa?" kata Hindun dalam keadaan gugup.

Pertanyaannya tidak dijawab, tiba-tiba Fakih telah bertanya dengan nada yang keras, "Siapa lelaki yang bersamamu tadi?"

"Lelaki? Mana ada...aku tidak melihat sesiapa, aku tidur dan baru terjaga setelah dikejutkan oleh engkau..." jawab Hindun.

Al-Fakih terus menuduh, tapi Hindun terus mempertahankan kejujurannya. Maka terjadilah perang mulut di antara kedua-dua suami isteri itu.

"Baliklah engkau kepada keluargamu." kata Fakih menghalau Hindun.

Hindun terus bingkas dan balik ke rumah ayahnya. Sementara orang ramai memperkatakan mereka dari mulut ke mulut sehingga terdengar juga oleh Utbah, ayah Hindun.

"Wahai anakku, sesungguhnya orang ramai telah saling memperkatakan engkau. Maka hendaklah engkau ceritakan kepadaku perkara yang sebenarnya. Jika lelaki yang dimaksudkan itu benar-benar ada, aku akan mengutus orang untuk membunuhnya, agar cerita itu lenyap. Sebaliknya jika berita itu bohong aku akan bertahkim kepada tukang tilik di Yaman." kata Utbah kepada Hindun.

Hindun bersumpah kepada ayahnya bahawa berita itu tidak pernah ada, dia tidak pernah berlaku curang dan tidak pernah mengkhianati suaminya. Berdasarkan keterangan Hindun itu, Utbah memanggil Fakih dan berkata: "Engkau telah menuduh anakku dengan tuduhan yang besar. Oleh kerana itu aku akan ajak engkau agar bertahkim kepada tukang tilik di Yaman."

"Boleh," jawab Fakih.

Pada hari yang telah ditetapkan, Fakih berangkat ke Yaman bersama sejumlah kaum keluarganya dari Bani Makhzum, sementara Utbah dan Hindun berangkat bersama sekumpulan kaum keluarganya dari Banu Abdi Manaf. Apabila hampir sampai ke tempah bomoh yg di tuju, tiba-tiba wajah Hindun berubah menjadi pucat seperti orang ketakutan.

"Wahai anakku, mengapa keadaanmu tiba-tiba berubah seperti ketakutan? Ini pasti ada sesuatu yang engkau rahsiakan. Ayuh cakap terus terang aja." kata Utbah kepada Hindun.

"Wahai ayahku, demi Allah, aku tidak menyimpan apa-apa rahsia yang ditakuti. Tapi aku tahu bahawa engkau akan datang keapda seorang manusia tukang ramal, yang kadang-kadang salah dan kadang-kadang benar. Aku merasa tidak aman, khuatir tekaannya salah, maka aku akan menjadi umpatan dan cacian bangsa Arab." jawab Hindun.

"Jangan khuatir wahai anakku, aku akan menguji ahli nujum itu terlebih dahulu sebelum menilik dirimu, sama ada dia betul tahu atau hanya sekadar meneka-neka." kata Utbah.

Utbah ingin mengetahui sama ada tukang tilik it betul-betul mahir atau hanya sekadar meneka-neka. Sebelum dia masuk ke rumah si ahli nujum, Utbah mengambil sebiji gandum lalu disorokkan ke bawah pelana kudanya. Kemudian rombongan itu masuk ke rumah tok nujum dan disambut dengan gembira dan penuh kehormatan.

"Wahai tok nujum, aku datang kepadamu untuk suatu urusan. Sebelumnya aku telah menyorokkan sesuatu untuk mengujimu, cuba sebutkan apa itu?" kata Utbah.

"Hahaha....Engkau hanya menyorokkan sebiji bijiran sahaja." kata si tukang tilik.

"Aku ingin engkau terangkan lebih jelas." pinta Utbah.

"Bijiran itu adalah sebiji bijiran gandum yang ada dicelah-celah pelana kudamu. Betul tak?" kata si tukang tilik.

"Engkau betul." kata Utbah. Utbah sangat kagum akan kepandaian si tukang tilik itu, maka dia pun yakin dapat meneka keadaan Hindun dengan tepat.

"Nah sekarang, terangkan keadaan perempuan-perempuan itu." kata Utbah sambil menunjuk kepada perempuan-perempuan yang terdiri dari Banu Makhzum dan Bani Abdi Manaf itu. Tukang tilik bangkit dan menghampiri perempuan-perempuan yang duduk bersimpuh di situ lalu ditepuk bahunya satu-satu persatu sambil berkata: "Bangun..!" setiap kali menepuk bahu seorang di antara mereka. Apabila tiba giliran Hindun, tukang tilik menepuk bahunya sambil berkata: "Bangun...! Tidak buruk dan tidak penzina. Dia bakal melahirkan seorang raja yang bernama Muawiyah."

Al-Fakih yang menyaksikan demonstrasi ahli nujum itu sejak tadi, sangat gembira apabila mendengar tentang isterinya. Dia segera menghampiri Hindun lalu dipegang tangannya dengan mesra. Tapi, tiba-tiba Hindun menarik tangannya dari genggaman suaminya itu dengan kasar.

"Mengapa pula engkau ini?" tanya Fakih dengan terkejut.

"Berambuslah engkau dari sini. Demi Allah aku ingin anak itu lahir dengan seorang lelaki selain engkau." kata Hindun lalu pergi meninggalkan Fakih.

Seterusnya, Hindun pergi kepada ayahnya sambil berkata: "Wahai ayahku, sekarang akulah yang memiliki diriku sendiri. Oleh kerana itu, janganlah engkau kahwinkan aku dengan lelaki tanpa persetujuanku."

Fakih sangat menyesal kerana terlalu cemburu buta. Kemudian Hindun berkahwin dengan Abu Sufyan atas pilihannya sendiri. Pasangan itu melahirkan ramai anak yang seorang di antaranya bernama Muawiyah yang kemudian menjadi pengasa dan Raja Daulat Bani Umayyah yang pertama. Rupanya tindakan cemburu buta Fakih mengandungi hikmah besar bagi Abu Sufyan. Dia dapat isteri hebat dan menjadi ayah kepada orang besar.

On | 0 Comment

Kelahiran Muawiyah yang akan menjadi orang besar sudah diramal oleh seorang tukang tilik di zaman jahiliyah. Hindun bin Utbah ibu kepada Muawiyah pernah berkahwin dengan seorang lelaki bernama Fakih bin Al-Mughirah sebelum berkahwin dengan Abu Sufyan. Fakih seorang Arab yang sangat suka menerima tetamu, bahkan dia punya satu rumah khusus yang disediakan untuk tetamu dan orang musafir. Rumah tersebut dibuka siang dan malam dan boleh ditempati oleh tetamu dan musafir tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu.

Suatu hari, rumah tetamu tersebut sedang kosong, maka Fakih membawa Hindun beristirehat dan berbaring-baring di rumah tersebut. Sebentar kemudian Fakih keluar untuk suatu keperluan dan Hindu tertidur di situ sementara menunggu suaminya. Tiba-tiba datang seorang lelaki tetamu yang ingin beristirehat di rumah tersebut dan masuk ke dalam, tapi dia melihat seorang perempuan sedang tidur di dalamnya. Oleh kerana itu, dia segera keluar semula. Ketika lelaki itu keluar, Fakih datang dan melihatnya. Kecurigaan pun timbul di dalam hatinya, mukanya berubah menjadi merah. Fakih terus masuk dan menendang isterinya yang sedang tidur. Hindun terkejut dan cuba bangun dalam keadaan terhoyong-hayang.

"Ada apa? Ada apa?" kata Hindun dalam keadaan gugup.

Pertanyaannya tidak dijawab, tiba-tiba Fakih telah bertanya dengan nada yang keras, "Siapa lelaki yang bersamamu tadi?"

"Lelaki? Mana ada...aku tidak melihat sesiapa, aku tidur dan baru terjaga setelah dikejutkan oleh engkau..." jawab Hindun.

Al-Fakih terus menuduh, tapi Hindun terus mempertahankan kejujurannya. Maka terjadilah perang mulut di antara kedua-dua suami isteri itu.

"Baliklah engkau kepada keluargamu." kata Fakih menghalau Hindun.

Hindun terus bingkas dan balik ke rumah ayahnya. Sementara orang ramai memperkatakan mereka dari mulut ke mulut sehingga terdengar juga oleh Utbah, ayah Hindun.

"Wahai anakku, sesungguhnya orang ramai telah saling memperkatakan engkau. Maka hendaklah engkau ceritakan kepadaku perkara yang sebenarnya. Jika lelaki yang dimaksudkan itu benar-benar ada, aku akan mengutus orang untuk membunuhnya, agar cerita itu lenyap. Sebaliknya jika berita itu bohong aku akan bertahkim kepada tukang tilik di Yaman." kata Utbah kepada Hindun.

Hindun bersumpah kepada ayahnya bahawa berita itu tidak pernah ada, dia tidak pernah berlaku curang dan tidak pernah mengkhianati suaminya. Berdasarkan keterangan Hindun itu, Utbah memanggil Fakih dan berkata: "Engkau telah menuduh anakku dengan tuduhan yang besar. Oleh kerana itu aku akan ajak engkau agar bertahkim kepada tukang tilik di Yaman."

"Boleh," jawab Fakih.

Pada hari yang telah ditetapkan, Fakih berangkat ke Yaman bersama sejumlah kaum keluarganya dari Bani Makhzum, sementara Utbah dan Hindun berangkat bersama sekumpulan kaum keluarganya dari Banu Abdi Manaf. Apabila hampir sampai ke tempah bomoh yg di tuju, tiba-tiba wajah Hindun berubah menjadi pucat seperti orang ketakutan.

"Wahai anakku, mengapa keadaanmu tiba-tiba berubah seperti ketakutan? Ini pasti ada sesuatu yang engkau rahsiakan. Ayuh cakap terus terang aja." kata Utbah kepada Hindun.

"Wahai ayahku, demi Allah, aku tidak menyimpan apa-apa rahsia yang ditakuti. Tapi aku tahu bahawa engkau akan datang keapda seorang manusia tukang ramal, yang kadang-kadang salah dan kadang-kadang benar. Aku merasa tidak aman, khuatir tekaannya salah, maka aku akan menjadi umpatan dan cacian bangsa Arab." jawab Hindun.

"Jangan khuatir wahai anakku, aku akan menguji ahli nujum itu terlebih dahulu sebelum menilik dirimu, sama ada dia betul tahu atau hanya sekadar meneka-neka." kata Utbah.

Utbah ingin mengetahui sama ada tukang tilik it betul-betul mahir atau hanya sekadar meneka-neka. Sebelum dia masuk ke rumah si ahli nujum, Utbah mengambil sebiji gandum lalu disorokkan ke bawah pelana kudanya. Kemudian rombongan itu masuk ke rumah tok nujum dan disambut dengan gembira dan penuh kehormatan.

"Wahai tok nujum, aku datang kepadamu untuk suatu urusan. Sebelumnya aku telah menyorokkan sesuatu untuk mengujimu, cuba sebutkan apa itu?" kata Utbah.

"Hahaha....Engkau hanya menyorokkan sebiji bijiran sahaja." kata si tukang tilik.

"Aku ingin engkau terangkan lebih jelas." pinta Utbah.

"Bijiran itu adalah sebiji bijiran gandum yang ada dicelah-celah pelana kudamu. Betul tak?" kata si tukang tilik.

"Engkau betul." kata Utbah. Utbah sangat kagum akan kepandaian si tukang tilik itu, maka dia pun yakin dapat meneka keadaan Hindun dengan tepat.

"Nah sekarang, terangkan keadaan perempuan-perempuan itu." kata Utbah sambil menunjuk kepada perempuan-perempuan yang terdiri dari Banu Makhzum dan Bani Abdi Manaf itu. Tukang tilik bangkit dan menghampiri perempuan-perempuan yang duduk bersimpuh di situ lalu ditepuk bahunya satu-satu persatu sambil berkata: "Bangun..!" setiap kali menepuk bahu seorang di antara mereka. Apabila tiba giliran Hindun, tukang tilik menepuk bahunya sambil berkata: "Bangun...! Tidak buruk dan tidak penzina. Dia bakal melahirkan seorang raja yang bernama Muawiyah."

Al-Fakih yang menyaksikan demonstrasi ahli nujum itu sejak tadi, sangat gembira apabila mendengar tentang isterinya. Dia segera menghampiri Hindun lalu dipegang tangannya dengan mesra. Tapi, tiba-tiba Hindun menarik tangannya dari genggaman suaminya itu dengan kasar.

"Mengapa pula engkau ini?" tanya Fakih dengan terkejut.

"Berambuslah engkau dari sini. Demi Allah aku ingin anak itu lahir dengan seorang lelaki selain engkau." kata Hindun lalu pergi meninggalkan Fakih.

Seterusnya, Hindun pergi kepada ayahnya sambil berkata: "Wahai ayahku, sekarang akulah yang memiliki diriku sendiri. Oleh kerana itu, janganlah engkau kahwinkan aku dengan lelaki tanpa persetujuanku."

Fakih sangat menyesal kerana terlalu cemburu buta. Kemudian Hindun berkahwin dengan Abu Sufyan atas pilihannya sendiri. Pasangan itu melahirkan ramai anak yang seorang di antaranya bernama Muawiyah yang kemudian menjadi pengasa dan Raja Daulat Bani Umayyah yang pertama. Rupanya tindakan cemburu buta Fakih mengandungi hikmah besar bagi Abu Sufyan. Dia dapat isteri hebat dan menjadi ayah kepada orang besar.

On | 0 Comment

Setelah bertahun-tahun lamanya, seorang yang sangat mudah marah menyedari bahawa ia sering mendapat kesusahan kerana sifatnya itu. Pada suatu hari, ia mendengar tentang seorang darwis yang berpengetahuan tingi lalu ia terus menemuinya untuk mendapatkan nasihat.

Darwis itu berkata, "Pergilah ke suatu tempat, disana kamu akan menemui sebatang pohon mati. Berdirilah di bawahnya dan lakukan satu kebajikan dengan memberi air kepada sesiapa yang lalu di depanmu."

Orang itu menjalankan nasihat tersebut. Hari demi hari berlalu, dan ia pun dikenal ramai sebagai orang yang mengikut sesuatu latihan kebaikan hati dan pengendalian diri di bawah perintah seorang yang berpengetahuan dalam.

Pada suatu hari, ada seorang yang lalu disitu dalam keadaan tergesa-gesa, ia memalingkan mukanya ketika ditawarkan air dan meneruskan perjalanannya. Orang yang mudah naik darah itu pun memanggilnya berulang kali, "Hai, balas salam aku! Minumlah air yang aku sediakan ini, yang aku khaskan untuk sekelian musafir yang lalu di sini."

Namun, tiada jawapan dari orang yang lalu tadi. Kerana sifatnya yang dahulu, orang yang mudah naik darah itu tidak dapat lagi menguasai dirinya. Ia lalu mengambil senjatanya dan terus di kejar dan dibunuhnya orang yang lalu tadi. Pada masa orang itu rebah meninggal dunia, pohon yang mati disitu, bagaikan suatu keajaiban, tiba-tiba penuh berbunga.

Sebenarnya, orang yang baru dibunuh itu adalah seorang pembunuh. Ia sedang dalam perjalanan untuk melaksanakan satu kejahatan yang paling mengerikan dalam sejarah kehidupannya.

Jadi, disini ada dua jenis nasihat. Pertama adalah penasihat yang memberitahu tentang apa yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang pasti, yang diulang-ulang secara teratur. Kedua adalah manusia berpengetahuan. Mereka yang bertemeu dengan manusia yang berpengetahuan akan meminta nasihat moral dan menganggapnya sebagai moralis. Namun yang diabadikannya adalah kebenaran, bukan harapan-harapan soleh.

On | 0 Comment

Suatu hari ketika Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan melalui sebuah rumah yang jenelanya masih terbuka, terdengar oleh beliau suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Keluhannya mengandungi kata-kata, "Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, agaknya tiada sesiapa pun yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Sejak dari pagi lagi belum datang sesuap nasi atau makanan pun di kerongkongku sehingga seluruh badanku menjadi lemah longlai. Oh, manakah hati yang belas ikhsan yang sudi memberi curahan air walaupun setitik."

Mendengar keluhan itu, Abu Hanifah berasa kasihan lalu beliau pun balik ke rumahnya dan mengambil bungkusan hendak diberikan kepada orang itu. Sebaik sahaja dia sampai ke rumah orang itu, dia terus melemparkan bungkusan yang berisi wang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya.

Dalam pada itu, si malang berasa terkejut setelah mendapati sebuah bungkusan yang tidak diketahui dari mana datangnya, lantas beliau tergesa-gesa membukanya. Setelah dibuka, nyatalah bungkusan itu berisi wang dan secebis kertas yang bertulis, "Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu berkeluh kesan sedemikian itu, kamu tidak pernah atau perlu mengeluh diperuntungkan nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan cublah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus."

Pada keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu dan suara keluhan itu kedengaran lagi, "Ya Allah, Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kelmarin, sekadar untuk mengenyangkan hidupku ang melarat ini. Sungguh jika Tuhan tidak beri, akan lebih sengsaralah hidupku, wahai untung nasibku."

Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan lagi bungkusan berisi wang dan secebis kertas dari luar jendela itu, lalu dia pun meneruskan perjalanannya. Orang itu terlalu riang sebaik sahaja mendapat bungkusan itu. Lantas terus membukanya.

Seperti dahulu juga, di dalam bungkusan itu tetap ada cebisan kertas lalu dibacanya, "Hai kawan, bukan begitu cara bermohon, bukan demikan cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian 'malas' namanya. Putusa asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak redha Tuhan melihat orang pemalas dan berputus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan...jangan berbuat demikian. Hendak senang mesti suka pada bekerja dan berusaha kerana kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak perlu atau disuruh duduk diam tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan perkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. InsyaAllah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Nah...carilah segera pekerjaan, saya doakan lekas berjaya."

Sebaik sahaja dia selesai membaca surat itu, dia termenung, dia insaf dan sedar akan kemalasannya yang selama ini dia tidak suka berikhtiar dan berusaha.

Pada keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak dari hari itu, sikapnya pun berubah, mengikut peraturan-peraturan hidup (Sunnah Tuhan) dan tidak lagi melupai nasihat orang yang memberikan nasihat itu.

Dalam Islam tiada istilah penggangguran, istilah ini hanya digunakan oleh orang yang berakal sempit. Islam mengajar kita untuk maju ke hadapan dan bukan mengajar kita tersadai di tepi jalan.

On | 0 Comment

Pada suatu hari, seorang saudagar perhiasan di zaman Tabiin bernama Yunus bin Ubaid, menyuruh saudaranya menjaga kedainya kerana ia akan keluar solat. Ketika itu datanglah seorang badwi yang hendak membeli perhiasan di kedai itu.

Maka terjadilah jual beli di antara badwi itu dan penjaga kedai yang diamanahkan tuannya tadi. Satu barang perhiasan permata yang hendak dibeli harganya empat ratus dirham. Saudara kepada Yunus menunjukkan suatu barang yang sebetulnya harga dua ratus dirham. Barang tersebut dibeli oleh badwi tadi tanpa diminta mengurangkan harganya tadi. Ditengah jalan, dia terserempak dengan Yunus bin Ubaid. Yunus bin Ubaid bertanya kepada si badwi yang membawa barang perhiasan yang dibeli dari kedainya tadi.

Sememangnya dia mengenali barang tersebut adalah dari kedainya. Saudagar Yunus bertanya kepada badwi itu, "Berapakah harga barang ini kamu beli?" Badwi itu menjawab, "Empat ratus dirham." Tetapi harga sebenarnya cuma dua ratus dirham sahaja. Mari ke kedai saya supaya saya dapat kembalikan wang selebihnya kepada saudara. " kata saudagar Yunus lagi. "Biarlah, ia tidak perlu. Aku telah merasa senang dan beruntung dengan harga yagn empat ratus dirham itu, sebab di kampungku harga barang ini paling murah lima ratus dirham." Tetapi saudagar Yunus itu tidak mahu melepaskan badwi itu pergi.

Didesaknya juga agar badwi tersebut balik ke kedainya dan bila tiba dikembalikan wang baki kepada badwi itu. Setelah badwi itu beredar, berkata saudagar Yunus kepada saudaranya, "Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan dua kali ganda?" Marah saudagar Yunus lagi. "Tetapi dia sendiri yang mahu membelinya dengan empat ratus dirham." Saudaranya cuba mempertahankan bahawa dia dipihak yang benar. Kata saudagar Yunus lagi, "Ya, tetapi di atas belakang kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudarakita seperti memperlakukan terhadap diri kita sendiri."

Jika kisah ini dapat dijadikan tauladan bagi peniaga-peniaga kita yang beriman, amatlah tepat. Kerana ini menunjukkan peribadi seorang peniaga yagn jujur dan amanah di jalan mencari rezeki yang halal. Jika semuanya berjalan dengan aman dan tenteram kerana tidak ada penipuan dalam perniagaan. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah itu penetap harga, yang menahan, yang melepas dan memberi rezeki dan sesungguhnya aku harap bertemu Allah di dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntut aku lantaran menzalimi di jiwa atau diharga." (Diriwayatkan lima Imam kecuali Imam Nasa'i)

On | 0 Comment

Bekerja bukan hanya kebutuhan, tapi juga kewajiban. Berpahala jika dilakukan, berdosa kalau ditinggalkan. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa seorang lelaki dari kaum Anshar datang menghadap Rasulullah saw dan meminta sesuatu kepada beliau. Rasulullah saw bertanya, “Adakah sesuatu di rumahmu?”

“Ada, ya Rasulullah!” jawabnya, “Saya mempunyai sehelai kain tebal, yang sebagian kami gunakan untuk selimut dan sebagian kami jadikan alas tidur. Selain itu saya juga mempunyai sebuah mangkuk besar yang kami pakai untuk minum.”

“Bawalah kemari kedua barang itu,” sambung Rasulullah saw. Lelaki itu membawa barang miliknya dan menyerahkannya kepada Rasulullah. Setelah barang diterima, Rasulullah saw segera melelangnya. Kepada para sahabat yang hadir pada saat itu, beliau menawarkan pada siapa yang mau membeli. Salah seorang sahabat menawar kedua barang itu dengan harga satu dirham. Tetapi Rasulullah menawarkan lagi, barangkali ada yang sanggup membeli lebih dari satu dirham, “Dua atau tiga dirham?” tanya Rasulullah kepada para hadirin sampai dua kali. Inilah lelang pertama kali yang dilakukan Rasulullah.

Tiba-tiba salah seorang sahabat menyahut, “Saya beli keduanya dengan harga dua dirham.”
Rasulullah menyerahkan kedua barang itu kepada si pembeli dan menerima uangnya. Uang itu lalu diserahkan kepada lelaki Anshar tersebut, seraya berkata, “Belikan satu dirham untuk keperluanmu dan satu dirham lagi belikan sebuah kapak dan engkau kembali lagi ke sini.”
Tak lama kemudian orang tersebut kembali menemui Rasulullah dengan membawa kapak. Rasulullah saw melengkapi kapak itu dengan membuatkan gagangnya terlebih dahulu, lantas berkata, “Pergilah mencari kayu bakar, lalu hasilnya kamu jual di pasar, dan jangan menemui aku sampai dua pekan.”

Lelaki itu taat melaksanakan perintah Rasulullah. Setelah dua pekan berlalu ia menemui Rasulullah melaporkan hasil kerjanya. Lelaki itu menuturkan bahwa selama dua pekan ia berhasil mengumpulkan uang sepuluh dirham setelah sebagian dibelikan makanan dan pakaian. Mendengar penuturan lelaki Anshar itu, Rasulullah bersabda, “Pekerjaanmu ini lebih baik bagimu daripada kamu datang sebagai pengemis, yang akan membuat cacat di wajahmu kelak pada hari kiamat.”

Rasulullah saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Rasulullah saw pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Sedemikian tingginya penghargaan itu sehingga orang yang bersungguh-sungguh bekerja disejajarkan dengan mujahid fi sabilillah. Kerja tak hanya menghasilkan nafkah materi, tapi juga pahala, bahkan maghfirah dari Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, “Jika ada seseorang yang keluar dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan Allah. Tetapi jika ia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itulah ‘di jalan setan’ atau karena mengikuti jalan setan,” (HR Thabrani).

Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT. Orang yang meminta-minta kepada sesama manusia tidak saja hina di dunia, tapi juga akan dihinakan Allah kelak di akhirat.

Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain,” (HR Bukhari dan Muslim).

Bekerja juga berkait dengan kesucian jiwa. Orang yang sibuk bekerja tidak akan ada waktu untuk bersantai-santai dan melakukan ghibah serta membincangkan orang lain. Ia akan menggunakan waktunya untuk meningkatkan kualitas kerja dan usaha.

Begitu pentingnya arti bekerja, sehingga Islam menetapkannya sebagai suatu kewajiban. Setiap Muslim yang berkemampuan wajib hukumnya bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang sangat dihormati. Ilmunya luas dan muridnya banyak. Di tengah kesibukannya belajar dan mengajar, ia masih menyempatkan diri untuk bekerja sehingga tidak jelas apakah ia seorang pedagang yang ulama atau ulama yang pedagang. Baginya, berusaha itu suatu keharusan. Sedangkan berjuang, belajar dan mengajarkan ilmu itu juga kewajiban.

Tentang nilai usaha ini, Islam tidak hanya bicara dalam tataran teori, tapi juga memberikan contohnya. Rasulullah saw adalah seorang pekerja. Para sahabat yang mengelilingi beliau juga adalah para pekerja. Delapan sahabat Rasulullah saw yang dijamin masuk surga adalah para saudagar yang kaya.

Kenapa orang yang bekerja itu mendapatkan pahala di sisi Allah SWT? Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja, Rasulullah bersabda, “Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya),” (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi)

Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tak heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah terpancar bersinar.

On | 0 Comment

Juha Membalas Dendam

Suatu hari aku telah bersetuju dengan beberapa orang sahabatku iaitu untuk mengadakan satu pertandingan. Jika aku dapat mengalahkan mereka, maka mereka kena menjamu aku makan dengan satu hidangan yang sedap-sedap dan bermacam-macam makanan. Dan jika aku yang kalah maka akulah yang kena jamu mereka makan.

Dengan satu syarat iaitu aku di kehendaki duduk di satu kawasan yang lapang di waktu malam di musim sejuk dan mereka tidak akan mengawasi aku bermakna aku mesti amanah tidak boleh menipu. Dan ada syarat yang lebih penting lagi iaitu jangan ada langsung tanda-tanda bahawa pada malam itu aku menyalakan api untuk memanaskan badan aku dari kesejukan, ini yang paling penting. Aku pun bersetuju oleh kerana aku yakin bahawa aku akan mampu menyahut cabaran tersebut dan aku berjanji akan benar-benar menepati syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan. Maka pada malam itu aku pun berbuat sebagaimana yang telah diminta kepadaku.

Kemudian pada keesokan paginya mereka pun beramai-ramai datang menemui aku dan meminta kepadaku agar menceritakan apa yang telah berlaku pada malam tadi dengan amanah dan jujur. Aku pun menceritakan kepada mereka: “Sesungguhnya pada malam tadi tidak ada yang aku dengar melainkan desiran dedaunan pokok yang ditiup angin. Selain itu aku juga mendengar tiupan angin yang agak kencang hingga menyebabkan aku merasakan kedinginan yang sangat dan juga aku terlihat dari kejauhan iaitu lebih kurang sebatu di depanku kelihatan api yang aku rasakan mungkin itu longgokan api.”

Tiba-tiba salah seorang dari mereka bangun dan berkata: “Bukankah kita dah berjanji jangan langsung kamu menyalakan api ataupun ada apa-apa unsur yang boleh mendatangkan kepanasan bagi kamu, bermakna api itu dapat memanaskan badan kamu dan kamu telah menyalahi syarat perjanjian kita!” Bangun seorang lagi, dia juga berkata, menguatkan kata-kata kawannya itu tadi dan akhirnya mereka memberi keputusan akulah yang kena menyediakan kepada mereka makanan yang sedap-sedap. Aku pun bersetuju tanpa banyak cakap. Maka tibalah pada hari yang ditetapkan iaitu mereka akan ke rumahku untuk menjamu selera, sesampai sahaja mereka aku pun mempersilakan mereka masuk.

Setelah agak lama mereka menunggu, perut-perut mereka pula telah berkeroncong, maka terus mereka bertanya kepadaku: “Wahai Juha...! mana dia hidangan, kami dah lama menunggu ni?” Oleh kerana mereka sudah bertanya, aku pun mengajak mereka ke kebun yang berada di belakang rumahku. Tiba-tiba mereka terkejut kerana melihat sebuah periuk yang besar tergantung di dahan salah satu pokok yang ada di kebunku. Lalu terus mereka bertanya: “Wahai Juha... apa ini?” Aku pun berkata di samping ingin mengenakan mereka: “Takkanlah kamu sudah lupa dulu kamu katakan padaku bahawa aku akan dapat memanaskan badanku yang kesejukan di musim dingin dengan longgokan api yang jauhnya sebatu, jadi sekarang ini di depan mata kamu semua, kamu menyaksikan sebuah periuk yang berisi makanan, takkanlah dia tak boleh masak dengan kepanasan api pelita yang ada di bawahnya yang jaraknya hanya sehasta. Jadi tunggulah sampai ia masak dulu!”


Mana Dia Surat Itu

Pada suatu hari ada seorang yang paling kaya dalam kampungku telah membuat satu jamuan makan yang sangat besar, dihidangi dengan makanan yang sedap-sedap dan lazat. Akan tetapi dia hanya menjemput orang-orang yang besar dan kaya-kaya sahaja samada dari kampung yang sama dan juga dari kampung yang bersebelahan.

Walau bagaimana sekalipun aku berazam untuk turut hadir dalam majlis jamuan itu, walaupun dengan apa cara sekalipun. Jadi si tuan rumah yang kaya raya tadi telah memberitahu kepada khadam yang menjaga pintu agar memastikan setiap para jemputan yang hadir mestilah menunjukkan kad jemputan. Siapa yang tidak membawa kad jemputan yang telah di edarkan, jangan di izinkan masuk. Maka aku pun mendapat satu jalan iaitu aku mengambil sehelai kertas putih dan aku lipatkan seakan-akan lipatan surat. Aku pun pergi ke rumah orang kaya tadi, sampai di pintu rumah dengan seberapa cepat yang boleh aku berjalan dan berkata kepada si penjaga pintu: “Buka... buka laluan!... aku membawa sekeping surat yang penting untuk tuan rumah”

Aku terus masuk ke dalam rumah dan aku dapati bahawa di hadapanku sekarang ini terhidang satu juadah yang amat sedap lagi lazat. Tanpa berlengah terus aku menerkamnya, aku makan semampu yang boleh dan kemudian sambil aku makan, aku serahkan kertas yang aku katakan surat tadi kepada tuan rumah. Dia pun mengambilnya, setelah dilihat terus dia berkata kepadaku dengan pelik: “Mana dia surat tu, ini kertas putih kosong, langsung tak ada apa-apa tulisan?” Aku menjawab dengan mulutku yang penuh dengan makanan: “Oh... minta maaflah wahai tuan, sebenarnya aku datang ke sini tadi dalam keadaan yang tergesa-gesa sehinggakan aku tidak sempat untuk menulis surat ini terlebih dahulu, jadi minta maaflah!”.


Juha Memegang Janji

Pada suatu hari aku telah bertelagah dengan isteriku tentang giliran untuk mengikat serta memberi makan kepada keldai kepunyaan kami di kandang. Akhirnya kami mengambil keputusan siapa yang mula bercakap selepas ini, maka dialah yang mesti pergi ke kandang untuk mengikat serta memberi makan keldai.

Maka aku dan isteriku terus duduk di dalam rumah, masing-masing mendiamkan diri tidak mahu bercakap. Setelah lebih kurang sejam lamanya isteriku pun menjadi bosan, lalu dia terus keluar dari rumah pergi ke salah sebuah rumah jiranku, jadi tinggallah aku sendirian. Tidak lama kemudian aku terdengar satu suara seakan-akan ada perompak masuk ke dalam rumahku. Maka aku pun nak melaungkan suara untuk meminta tolong, tiba-tiba aku teringatkan perjanjian dengan isteriku tadi, terus aku tak jadi nak menjerit. Aku pun terus duduk dan langsung tidak bergerak-gerak. Perompak tersebut terus masuk ke dalam bilikku, mulalah dia menggeledah sana sini, sebelum itu dia terpandang ke arahku dan dia menyangkakan bahawa aku diserang penyakit lumpuh sebab langsung tidak bergerak-gerak.

Lalu terus dia mengambil apa yang boleh diambilnya, apa saja yang dapat dicapai oleh tangannya dia memasukkan ke dalam karung yang dibawa. Kemudian sebelum perompak itu meninggalkan rumahku dia datang menghampiri aku lalu mengambil serban yang ada di kepalaku dan kemudian dia terus lari menghilangkan diri. Aku langsung tidak bergerak-gerak ataupun berkata apa-apa sebab berpegang pada janji aku dengan isteriku. Tidak lama selepas itu datang seorang anak jiran rumahku kerana isteriku telah menyuruhnya agar membawakan untukku semangkuk bubur supaya aku tidak mati kelaparan. Aku pun memberi isyarat kepada anak jiranku itu bahawa serbanku dan seluruh perkakas rumahku telah dicuri perompak.

Bila dia melihat aku memberi isyarat sedemikian, disangkanya aku berkata: “Tuangkanlah bubur itu ke atas kepalaku!” Habis basah kuyup aku dibuatnya. Tiba-tiba si budak tadi terus faham dengan apa yang telah aku isyaratkan kepadanya, tanpa berlengah terus dia berlari serta memanggil-manggil isteriku. Isteriku terus datang untuk melihat apa yang telah berlaku... bila dia terlihat terus dia berkata kepadaku dalam keadaan terperanjat serta marah: “Apa yang telah berlaku ke atasmu wahai Juha... suamiku?” Aku pun terus melompat bangun dari tempatku dan kukatakan kepadanya: “Ha!... kamu yang mula bercakap, jadi kamulah yang kena pergi ke kandang untuk mengikat dan memberi makan si keldai tu nampaknya, cepatlah pergi...! dan janganlah kamu berdegil lagi!”

On | 0 Comment

Diceritakan bahawa pada suatu hari  Abdullah bin Jaafar sedang berpergian. Ketika sampai di sebuah kebun kurma milik seseorang, dia berhenti untuk beristirehat. Didapatinya di situ ada seorang hamba abdi berkulit hitam yang menjaga kebun kurma tersebut. Tiba-tiba hamba abdi itu mengeluarkan bekalnya untuk makan yang berupa tiga potong makanan. Seekor anjing datang menghampirinya dan berpusing-pusing berhampiran si hamba sambil menyalak sebagai tanda ingin merasa makanan itu. Lidahnya pun dihulur-hulurkannya keluar.

Hamba abdi yang peka itu mencampakkan sepotong makanannya ke arah anjing dan dimakannya. Kemudian dicampakkannya pula sepotong lagi dan dimakannya pula. Ternyata anjing itu masih belum mahu lari juga. Maka hamba abdi itu mencampakkan lagi makanannya untuk ketiga kalinya dan dimakannya lagi. Maka habislah semua bekal si hamba kerana diberikan kepada anjing yang datang.

Abdullah bin Jaafar yang melihat perkara itu sangat hairan, kerana si hamba telah memberikan semua makanannya kepada anjing. “Wahai anakku, berapa banyakkah makananmu sehari di tempat ini?” tanya Abdullah bin Jaafar.

“Tiga potong saja yang kesemuanya telah dimakan anjing tadi.” Jawab si hamba.

“Mengapa engkau berikan semua kepada anjing itu? Dan engkau sendiri akan makan apa?” tanya Abdullah.

“Wahai tuan. Tempat ini bukanlah kawasan anjing. Jadi aku yakin dia datang dari tempat yang jauh, sedang bermusafir dan tentu dia sangat lapar. Sedang aku sendiri, biarlah tidak makan hari ini sehingga esok.” jawab si hamba.

Mendengar itu, Abdullah berseru: “Subhanallah. Bagus...bagus. Ternyata hamba itu lebih dermawan daripada saya.”

Kerana rasa terharunya dan merasa kedermawanannya masih dikalahkan oleh seorang hamba hitam, Abdullah bin Jaafar membeli kebun kurma dan hamba abdi itu dari tuannya. Kemudian dia memerdekakan si hamba, dan kebun kurma itu diberikan kepadanya. Setelah itu, dia pergi meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanannya.


(*) Abdullah bin Jaafar bin Abi Talib lahir di Negeri Habsyah ketika umat Islam sedang berpindah ke sana dengan dipimpin oleh ayahnya Jaafar bin Abi Talib. Dialah keluarga Bani Hasyim yang paling akhir melihat Rasulullah SAW Ketika Nabi SAW membaiatnya, Abdullah bin Jaafar baru berumur tujuh tahun, turut bersama dalam baiat itu Abdullah bin Zubair yang umurnya juga baru tujuh tahun.Abdullah bin Jaafar memang terkenal sangat dermawan. Dia pernah bersedekah sehingga beribu-ribu dinar dalam satu masa, enam puluh ribu, empat puluh ribu dinar dan lain-lain. Muawiyah sangat suka kepadanya dan memberinya satu juta dirham setiap tahun. Suatu masa ketika Muawiyah mengerjakan memberinya lima puluh ribu dinar. Abdullah bin Jaafar wafat pada tahun 83 Hijrah.

On | 0 Comment


Belakang Bererti Hadapan

Abu Bakar Al-Kalbi menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan Juha* di Kufah. Ketika itu dia sengaja datang ke Kufah untuk pergi ke rumah hakim. Sesampainya di sana dia berjumpa dengan seorang syeikh sedang duduk berjemur di panas matahari.

“Wahai Syeikh! Di mana rumah tuan hakim?” Tanya Abu Bakar Al-Kalbi kepada Syeikh itu..

“Wara’aka (di belakangmu).” Jawab Syeikh itu.

Maka Abu Bakar pun berpatah balik ke belakang untuk mencari rumah yang dimaksud.

“Subhanallah, mengapa engkau berbalik ke belakang?” Tegur Syeikh itu tiba-tiba..

“Tuan kata “di belakangmu”, jadi saya balik ke belakanglah.” Jawab Abu Bakar..

“Dengarlah saudara. Ikramah telah mengkhabarkan kepadaku dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah ....”

Lalu Syeikh itu membaca surah Al-Kahfi, ayat 79 yang ertinya: “Kerana di belakang mereka ada seorang raja yang mengambil setiap perahu dengan paksa.”

“Ikramah berkata,” Kata syeikh itu lagi. “Di belakang mereka maksudnya di hadapan mereka.”

Barulah Abu Bakar Al-Kalbi faham bahawa rumah tuan hakim yang sedang dicarinya ada di hadapannya.

“Subhanallah......” Kata Abu Bakar kagum.

Kemudian dia bertanya: “Syeikh ini Abu siapa......?” .

“Abul Ghusn.” Jawabnya..

“Nama yang sebenar?” Tanya Abu Bakar lagi. .

“Juha.” Jawabnya.

*** Ubbad bin Suhaib juga menceritakan pengalaman yang sama dengan Abu Bakar Al-Kalbi ketika datang ke Kufah. Dia datang ke kota itu untuk mendengarkan tilawah Al-Quran dari Syeikh Ismail bin Abi Khalid. Ketika dia sedang tercari-cari tiba-tiba bertemu dengan seorang Syeikh sedang duduk-duduk. “Wahai syeikh, di mana rumah Ismail bin Abi Khalid?” Tanya Ubbad bin Suhaib. “Terus ke belakang.” Jawab orang tua itu. “Jadi aku mesti berpatah balik?” Tanya Ubbad. “Aku cakap di belakangmu, mengapa mesti berpatah balik.” “Tuan cakap wara’aka, bererti kan di belakangku.” Kata Ubbad bin Suhaib. “Bukan begitu. Ikramah telah mengkhabarkan kepadaku tentang firman Allah “Wa kana wa ra’ahum”, maksudnya “di hadapan mereka.” Ubbad kagum akan kecerdikan orang tua itu..“Siapa nama tuan?” Tanya Ubbad.. “Nama saya Juha.” Jawab orang tua itu.


Pekikan Jubah

Abul Hasan menceritakan pula bahawa seorang lelaki telah mendengar suara orang berteriak dan mengadu kesakitan di rumah Juha.

“Aku mendengar suara pekikan di rumah tuan, apa gerangan?” tanya lelaki itu kepada Juha.

“Jubahku jatuh dari atas rumah.” jawab Juha.

"Err..hanya jubah jatuh pun sampai terpekik-pekik?”

“Engkau ini bodoh. Jika engkau sedang memakai jubah, dan jubah yang dipakaimu jatuh, bukankah engkau ikut jatuh bersamanya?” kata Juha.


Kubur Di Atas Tanah

Suatu hari seorang jiran Juha meninggal dunia, maka Juha bertanggung jawab ke atas pengkebumiannya. Dia lalu pergi kepada tukang gali kubur untuk memesan sebuah kuburan. Akan tetapi terjadi pertengkaran antara Juha dan tukang gali kubur berkenaan dengan upah menggalinya. Tukang gali kubur meminta upah sekurang-kurangnya lima dirham, dan kalau tidak, dia tidak mahu menggali kubur. Juha tidak setuju akan bayaran sebanyak itu. Tiba-tiba dia pergi ke pasar membeli beberapa biji kayu papan dengan harga dua dirham dan dibawanya ke perkuburan

“Buat apa kayu itu?” tanya orang ramai.

“Tukang gali kubur tidak mahu menggali kuburan kalau tidak dibayar sekurang-kurangnya lima dirham. Aku beli papan ini dengan harga dua dirham sahaja. Aku akan tutup saja mayat jiranku itu dengan papan ini dan akan diletakkan di atas tanah perkuburan. Aku masih untung tiga dirham. Di samping itu, si mayat tidak terkena himpitan kubur dan terhindar dari pertanyaan Malaikat Mungkar dan Nakir di dalam kubur. "


Unta Minta Upah?

Suatu ketika Juha pergi keluar untuk membeli gandum. Setelah gandum dapat, lalu dinaikkan ke atas untanya untuk dibawa balik.

Tiba-tiba unta yang dikenderainya lari dengan membawa gandum yang baru digiling itu. Setelah beberapa hari kemudian, Juha menjumpai untanya. Akan tetapi Juha mengelak daripada dilihat oleh untanya.

“Mengapa engkau menyembunyikan diri dari untamu?” tanya seseorang kepadanya.

“Aku khuatir unta itu meminta wang tambang kepadaku. Oleh kerana itulah aku bersembunyi daripadanya.” jawab Juha.

***
Pada suatu musim haji, ayah Juha keluar ke Makkah untuk mengerjakan ibadah haji. Ketika ayahnya akan berangkat, Juha berpesan: “Ayah jangan terlalu lama pergi. Usahakan ada di sini semula pada Hariraya Aidiladha agar kita dapat menyembelih kurban bersama.”


Kambing Ajaib

Semasa remajanya, Juha pernah disuruh ke pasar oleh ayahnya untuk membelikan kepala kambing bakar. Dia pun pergi dan membeli sebuah kepala kambing bakar yang baik dan dibawanya pulang.

Di tengah perjalanan, Juha berhenti dan membuka kepala kambing itu, lalu dimakannya kedua-dua matanya, kedua-dua telinganya, lidahnya dan otaknya. Kemudian sisanya yakni tengkorak- tengkoraknya dibawa pulang dan diserahkan kepada ayahnya.

Sudah tentu ayahnya sangat terkejut kerana kepala tersebut sudah kosong dan bahagian-bahagian lainnya juga hilang.

“Celaka kamu, apa ini?” kata ayahnya..

“Itulah kepala yang ayah minta.” jawab Juha.

“Mana kedua-dua matanya?” tanya ayahnya lagi..

“Ia adalah kambing buta.” jawab Juha..

“Mana kedua-dua telinganya.”

“Kambingnya tuli.” jawab Juha.

“Lidahnya juga tidak ada, ke mana?” tanya ayahnya.

“Kambing itu kelu agaknya.” Jawab Juha.

“Sampai pada otaknya juga tidak ada, ke mana?”

“Kambingnya botak.” jawab Juha.

Ayahnya tidak dapat menerima kepala kambing yang tidak sempurna itu kerana merasa rugi.

“Celaka engkau Juha. Sila kembalikan kepala kambing ini kepada penjualnya, dan tukar dengan yang lain.” kata ayahnya.

“Pemiliknya telah menjual kambing itu tanpa sebarang cacat.” jawab Juha.


Membeli Bangkai

Suatu hari Juha melihat budak-budak mempermain-mainkan seekor burung yang sudah mati.

“Boleh jual kepadaku burung itu?” Tanya Juha.

“Burung sudah mati akan engkau beli, buat apa?” Tanya budak-budak itu.

“Aku memang ingin memilikinya.”

“Kalau nak juga, sila beli.” Kata budak-budak itu.

Juha membayar burung mati itu dengan harga satu dirham kemudian dibawanya pulang. Sesampainya di rumahnya, ibu hairan dan marah. “Hai Juha! Buat apa kau bawa burung yang sudah jadi bangkai itu?” tanya ibunya.

“Diamlah bu. Jika burung itu hidup, aku tidak sanggup mengeluarkan seratus dirham untuk membeli makanannya.” Jawab Juha.


(*) Juha Al-Kufi Al-Fazzari, juga dikenali sebagai Abul Ghusn adalah seorang yang terlalu pelupa dan lurus walaupun cerdik, sehingga perjalanan hidupnya banyak yang aneh. Ibunya adalah khadam kepada ibu Anas bin Malik, sahabat Nabi SAW. Al-Jauhari di dalam kitab menamakannya Juha. Pengarang kitab “Al-Qamus” mengatakan bahawa Juha adalah gelarannya, sedang namanya yang sebenar adalah Dajin bin Thabit. Akan tetapi Ibnu Hajar di dalam kitab “Lisanul Mizan” menafikan bahawa Juha adalah Dajin bin Thabit. Selain Juha Al-Kufi yang berbangsa Arab ini, ada lagi orang bernama Juha, tapi berasal dari Turki. Sehingga kadang-kadang kisah kedua-dua Juha itu bercampur.

On | 0 Comment

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Luqman Hakim, menceritakan pada suatu hari ada seorang telah datang berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kerana hendak memeluk agama Islam. Sesudah mengucapkan dua kalimah syahadat, lelaki itu lalu berkata :

"Ya Rasulullah. Sebenarnya hamba ini selalu saja berbuat dosa dan payah hendak meninggalkannya."

Maka Rasulullah menjawab : "Mahukah engkau berjanji bahwa engkau sanggup meninggalkan bercakap bohong?"

"Ya, saya berjanji" jawab lelaki itu singkat. Selepas itu, dia pun pulanglah ke rumahnya.
Menurut riwayat, sebelum lelaki itu memeluk agama Islam, dia sangat terkenal sebagai seorang yang jahat. Kegemarannya hanyalah mencuri, berjudi dan meminum minuman keras. Maka setelah dia memeluk agama Islam, dia sedaya upaya untuk meninggalkan segala keburukan itu. Sebab itulah dia meminta nasihat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Dalam perjalanan pulang dari menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lelaki itu berkata di dalam hatinya :

"Berat juga aku hendak meninggalkan apa yang dikehendaki oleh Rasulullah itu."
Maka setiap kali hatinya terdorong untk berbuat jahat, hati kecilnya terus mengejek.

"Berani engkau berbuat jahat. Apakah jawapan kamu nanti apabila ditanya oleh Rasulullah.

Sanggupkah engkau berbohong kepadanya" bisik hati kecil. Setiap kali dia berniat hendak berbuat jahat, maka dia teringat segala pesan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan setiap kali pulalah hatinya berkata :

"Kalau aku berbohong kepada Rasulullah bererti aku telah mengkhianati janjiku padanya. Sebaliknya jika aku bercakap benar bererti aku akan menerima hukuman sebagai orang Islam. Oh Tuhan....sesungguhnya di dalam pesanan Rasulullah itu terkandung sebuah hikmah yang sangat berharga."

Setelah dia berjuang dengan hawa nafsunya itu, akhirnya lelaki itu berjaya di dalam perjuangannya menentang kehendak nalurinya. Menurut hadis itu lagi, sejak dari hari itu bermula babak baru dalam hidupnya. Dia telah berhijrah dari kejahatan kepada kemuliaan hidup seperti yang digariskan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hingga ke akhirnya dia telah berubah menjadi mukmin yang soleh dan mulia

On | 0 Comment

  Pada suatu hari ketika 'Uzair memasuki kebunnya yang menghijau dengan pokok-pokok tamar dan tiba-tiba hatinya telah terpesona serta tertarik untuk memikirkan rahsia keindahan dan keajaiban alam ini. Sesudah memetik buah-buahan dia pulang dengan keldainya sambil menikmati keindahan-keindahan alam sekitarnya sehingga keldai yang ditungganginya tersesat jalan. Setelah sekian lama barulah dia sedar bahwa dia telah berada di suatu daerah yang tidak dikenali oleh beliau serta sudah jauh dari negerinya sendiri.  Sebaik saja dia sampai ke daerah itu dilihatnya kampung itu baru saja diserbu oleh musuh-musuh sehingga menjadi rosak-binasa sama sekali. Di tapak atau bekas runtuhan terdapat mayat-mayat manusia yang bergelimpangan yang sudah busuk serta hancur. Melihatkan pemandangan yang mengerikan itu, dia pun turun dari keldainya dengan membawa dua keranjang buah-buahan. Manakala keldainya itu ditambat di situ, kemudian dia pun duduk bersandar pada dinding sebuah rumah yang sudah runtuh bagi melepaskan penatnya. Dalam pada itu, fikirannya mula memikirkan mayat manusia yang sudah busuk itu.  "Bagaimana orang-orang yang sudah mati dan hancur itu akan dihidupkan oleh Tuhan kembali di negeri akhirat?" begitulah pertanyaan yang datang bertalu-talu da tidak terjawab olehnya sehingga dia menjadi lemah-longlai dan kemudian terus tertidur. Dalam tidur itu, dia seakan-akan bertemu dengan semua arwah (roh-roh) orang-orang yang sudah meninggal itu. Tidurnya amat luar biasa sekali, bukan hanya sejam atau semalam, tetapi dia telah tidur terus-menerus tanpa bangun-bangun selama seratus tahun lamanya.  Dalam masa dia tertidur itu, keadaan di sekitarnya sudah ramai lapisan baru, rumah serta bangunan-bangunan banyak yang telah didirikan. Dalam masa seratus tahun itu, segala-galanya sudah berubah, manakal 'Uzair tetap terus tidur tersandar di dinding buruk itu menjadi jasad (tubuh) yang tidak bernyawa lagi. Dagingnya sudah hancur dan tulang belulangnya sudah hancur lebur berderai. Kemudian jasad 'Uzair yang telah mati, daging dan tulangnya yang sudah hancur itu disusun kembali oleh Allah pada bahagiannya masing-masing lalu ditiupkan ruhnya. Dan ketika itu juga 'Uzair hidup kembali seperti dahulu. 'Uzair terus berdiri seperti orang yang bangun dari tidur lantas dia mencari keldai dan buah-buahannya di dalam keranjang dahulu.  Tidak berapa lama kemudian, turunlah beberapa malaikat seraya bertanya, "Tahukah engkau ya 'Uzair berapa lama engkau tidur?" Tanpa berfikir panjang 'Uzair menjawab, "Saya tertidur sehari dua ataupun setengah hari." Lalu malaikat pun berkata kepadanya, "Bahwa engkau terdampar di sini genap seratus tahun lamanya. Disinilah engkau berbaring, berhujan dan berpanas matahari, kadang-kadang ditiup badai dan berhawa sejuk dan juga panas terik. Dalam masa yang begitu panjang, makanan engkau tetap baik keadaannya. Tetapi cuba lihat keadaan keldai itu, dia sendiri pun sudah hancur dan dagingnya sudah busuk."  Berkata malaikat lagi, "Lihatlah dan perhatikanlah sungguh-sungguh. Demikianlah kekuasaan Allah. Allah dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati dan mengembalikan jasad-jasad yang sudah hancur lebur dan dengan semudah itu pulalah Tuhan akan membangkitkan semua manusia yang sudah mati itu nanti di akhirat untuk diperiksa dan diadili segala perbuatannya. Hal ini diperlihatkan oleh Tuhan kepada engkau supaya iman engkau tetap dan engkau sendiri dapat menjadi bukti kepada manusia-manusia lain supaya engkau dan manusia-manusia lain tiada syak dan ragu-ragu lagi tentang apa yang diterangkan Tuhan tentang akhirat itu."  Setelah 'Uzair melihat makanan dan keldainya yang sudah hancur itu, maka 'Uzair pun berkata, "Sekarang tahulah saya bahwa Allah itu adalah berkuasa ke atas tiap-tiap sesuatu." Tiba-tiba keldai yang sudah hancur berderai itu dilihatnya mulai dikumpulkan daging dan tulangnya. Dan akhirnya menjadi seperti sediakala iaitu hidup kembali bergerak-gerak dan berdiri sebagaimana sebelum mati. Maka 'Uzair pun berkata, "Sekarang tahulah saya bahwa Allah berkuasa di atas segala-galanya." Lalu dia pun terus mengambil keldainya dahulu dan terus menunggangnya pulang ke rumahnya dahulu dengan mencari-cari jalan yang sukar untuk dikenali. Dilihatnya segala-gala telah berubah. Dia cuba mengingati apa yang pernah dilihatnya seratus tahun dahulu. Setelah menempuhi berbagai kesukaran, akhirnya dia pun sampai ke rumahnya. Sebaik saja dia sampai di situ, dia mendapati rumahnya sudah pun buruk di mana segala dinding rumahnya telah habis runtuh. Semasa dia memandang keadaan sekeliling rumahnya, dia ternampak seorang perempuan tua, lantas dia pun bertanya, "Inikah rumah tuan 'Uzair?"  "Ya," jawab perempuan itu. "Inilah rumah 'Uzair dahulu, tetapi 'Uzair telah lama pergi dan tiada didengar berita tentangnya lagi sehingga semua orang pun lupa padanya dan saya sendiri tidak pernah menyebut namanya selain kali ini saja." Kata perempuan itu sambil menitiskan airmata.  'Sayalah 'Uzair," jawab 'Uzair dengan pantas. "Saya telah dimatikan oleh Tuhan seratus tahun dahulu dan sekrang saya sudah dihidupkan oleh Allah kembali." Perempuan tua itu terkejut seakan-akan tidak percaya, lalu dia pun berkata, "'Uzair itu adalah seorang yang paling soleh, doanya selalu dimakbulkan oleh Tuhan dan telah banyak jasanya di dalam menyembuhkan orang yang sakit tenat." Sambunya lagi, "Saya ini adalah hambanya sendiri, badan saya telah tua dan lemah, mata saya telah pun buta kerana selalu menangis terkenangkan 'Uzair. Kalaulah tuan ini 'Uzair maka cubalah tuan doakan kepada Tuhan suaya mata saya terang kembali dan dapat melihat tuan."  "Uzair pun mendaha kedua belah tangannya ke langit lalu berdoa ke hadrat Tuhan. Tiba-tiba mata orang rua itupun terbuka dan dapat melihat dengan lebih terang lagi. Tubuhnya yang tua dan lemah itu kembali kuat seakan-akan kembali muda. Setelah merenung wajah 'Uzair dia pun berkata, "Benar, tuanlah 'Uzair. Saya masih ingat." Hambanya itu terus mencium tangan 'Uzair lalu keduanya pergi mendapatkan orang ramai, bangsa Israil. 'Uzair memperkenalkan dirinya bahwa dialah 'Uzair yang pernah hidup di kampung itu lebih seratus tahun yang lalu.  Berita itu bukan saja mengejutkan bangsa Israil, tetapi ada juga meragukan dan ada yang tidak percaya kepadanya. Walau bagaimanapun berita itu menarik perhatian semua orang yang hidup ketika itu. Kerana itu mereka ingin menguji kebenaran 'Uzair. Kemudian datanglah anak kandungnya sendiri seraya bertanya, "Saya masih ingat bahwa bapa saya mempunyai tanda di punggungnya. Cubalah periksa tanda itu. Kalau ada benarlah dia 'Uzair." Tanda itu memang ada pada 'Uzair, lalu percayalah sebahagian daripada mereka. Akan tetapi sebahagian lagi mahukan bukti yang lebih nyata, maka mereka berkata kepada 'Uzair, "Bahwa sejak penyerbuan Nebukadnezar ke atas bangsa dan negara Israil dan setelah tentera tersebut membakar kitab suci Taurat, maka tiadalah seorang pun bani Israil yang hafal isi Taurat kecuali 'Uzair saja. Kalau benarlah tuan Uzair, cubalah tuan sebutkan isi Taurat yang betul."  'Uzair pun membaca isi Taurat itu satu persatu dengan fasih dan lancar serta tidak salah walaupun sedikit. Mendengarkan itu barulah mereka percaya bahwa sungguh benar itulah 'Uzair. Ketika itu, semua bangsa Israil punpercaya bahwa dialah 'Uzair yang telah mati dan dihidupkan semual oleh Tuhan. Banyak di antara mereka yang bersalam dan mencium tangan 'Uzair serta meminta nasihat dan panduan daripadanya. Tetapi sebahagian daripada kaum Yahudi yang bodoh menganggap 'Uzair sebagai anak Tuhan pula. Maha Suci Allah tidak mempunyai anak samada 'Uzair mahupun Isa kerana semua makhluk adalah kepunyaan-Nya belaka. Janganlah kita was-was tentang kekuasaan Allah, maka hendaklah dia fikir siapakah yang menciptakan dirinya itu. Adalah mustahil sesuatu benda itu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Kalau masih ada orang yang ragu-ragu tentang kekuasaan Allah, ubatnya hanya satu saja, hendaklah dia membaca dan memahami al-Qur'an, was-was terhadap kekuasaan Allah itu hanya datangnya dari syaitan.  Allah S.W.T telah meletakkan komputer dalam kepala kita untuk berfikir, oleh itu gunakanlah akal kita untuk berfikir.

On | 0 Comment

Dalam sebuah riwayat menceritakan, pada suatu hari Luqman Hakim telah masuk ke dalam pasar dengan menaiki seekor himar, manakala anaknya mengikut dari belakang. Melihat tingkah laku Luqman itu, setengah orang pun berkata, 'Lihat itu orang tua yang tidak bertimbang rasa, sedangkan anaknya dibiarkan berjalan kaki."

Setelah mendengarkan desas-desus dari orang ramai maka Luqman pun turun dari himarnya itu lalu diletakkan anaknya di atas himar itu. Melihat yang demikian, maka orang di passar itu berkata pula, "Lihat orang tuanya berjalan kaki sedangkan anaknya sedap menaiki himar itu, sungguh kurang adab anak itu."

Sebaik saja mendengar kata-kata itu, Luqman pun terus naik ke atas belakang himar itu bersama-sama dengan anaknya. Kemudian orang ramai pula berkata lagi, "Lihat itu dua orang menaiki seekor himar, adalah sungguh menyiksakan himar itu."

Oleh kerana tidak suka mendengar percakapan orang, maka Luqman dan anaknya turun dari himar itu, kemudian terdengar lagi suara orang berkata, "Dua orang berjalan kaki, sedangkan himar itu tidak dikenderai."

Dalam perjalanan mereka kedua beranak itu pulang ke rumah, Luqman Hakim telah menasihatai anaknya tentang sikap manusia dan telatah mereka, katanya, "Sesungguhnya tiada terlepas seseorang itu dari percakapan manusia. Maka orang yang berakal tiadalah dia mengambil pertimbangan melainkan kepada Allah S.W.T saja. Barang siapa mengenal kebenaran, itulah yang menjadi pertimbangannya dalam tiap-tiap satu."

Kemudian Luqman Hakim berpesan kepada anaknya, katanya, "Wahai anakku, tuntutlah rezeki yang halal supaya kamu tidak menjadi fakir. Sesungguhnya tiadalah orang fakir itu melainkan tertimpa kepadanya tiga perkara, iaitu tipis keyakinannya (iman) tentang agamanya, lemah akalnya (mudah tertipu dan diperdayai orang) dan hilang kemuliaan hatinya (keperibadiannya), dan lebih celaka lagi daripada tiga perkara itu ialah orang-orang yang suka merendah-rendahkan dan meringan-ringankannya."

On | 0 Comment

Setelah pelbagai usaha oleh kaum Quraisy untuk menyekat dan menghapuskan penyebaran agama Islam menemui kegagalan, maka Abu Jahal semakin benci terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kebencian Abu Jahal ini tidak ada tolok bandingnya, malah melebihi kebencian Abu Lahab terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Melihatkan agama Islam semakin tersebar, Abu Jahal pun berkata kepada kaum Quraisy di dalam suatu perhimpunan, "Hai kaumku! Janganlah sekali-kali membiarkan Muhammad menyebarkan ajaran barunya dengan sesuka hatinya. Ini adalah kerana dia telah menghina agama nenek moyang kita, dia mencela tuhan yang kita sembah. Demi Tuhan, aku berjanji kepada kamu sekalian, bahwa esok aku akan membawa batu ke Masjidil Haram untuk dibalingkan ke kepala Muhammad ketika dia sujud. Selepas itu, terserahlah kepada kamu semua samada mahu menyerahkan aku kepada keluarganya atau kamu membela aku dari ancaman kaum kerabatnya. Biarlah orang-orang Bani Hasyim bertindak apa yang mereka sukai."

Tatkala mendengar jaminan daripada Abu Jahal, maka orang ramai yang menghadiri perhimpunan itu berkata secara serentak kepadanya, "Demi Tuhan, kami tidak akan sekali-kali menyerahkan engkau kepada keluarga Muhammad. Teruskan niatmu."

Orang ramai yang menghadiri perhimpunan itu merasa bangga mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Abu Jahal bahwa dia akan menghapuskan Muhammad kerana jika Abu Jahal berjaya menghapuskan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bererti akan terhapuslah segala keresahan dan kesusahan mereka selama ini yang disebabkan oleh kegiatan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebarkan agama Islam di kalangan mereka.

Dalam pada itu, terdapat juga para hadirin di situ telah mengira-ngira perbelanjaan untuk mengadakan pesta sekiranya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam berjaya dihapuskan. Pada pandangan mereka adalah mudah untuk membunuh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang dikasihi oleh Tuhan Yang Maha Esa serta sekalian penghuni langit. Padahal Allah tidak akan sekali-kali membiarkan kekasih-Nya diancam dan diperlakukan seperti binatang.

Dengan perasaan bangga, keesokan harinya di sebelah pagi, Abu Jahal pun terus pergi ke Kaabah iaitu tempat biasa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bersembahyang. Dengan langkahnya seperti seorang satria, dia berjalan dengan membawa seketul batu besar di tangan sambil diiringi oleh beberapa orang Quraisy yang rapat dengannya. Tujuan dia mengajak kawan-kawannya ialah untuk menyaksikan bagaimana nanti dia akan menghempapkan batu itu di atas kepala Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Sepanjang perjalanan itu dia membayangkan bagaimana keadaan Nabi Muhammad nanti setelah kepalanya dihentak oleh batu itu. Dia tersenyum sendirian apabila membayangkan kepala Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pecah dan tidak bergerak lagi. Dan juga membayangkan bagaimana kaum Quraisy akanmenyambutnya sebagai pahlawan yang telah berjaya membunuh musuh nombor satu mereka.

Sebaik saja Abu Jahal tiba di perkarangan Masjidil Haram, dilihatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam baru saja sampai dan hendak mengerjakan sembahyang. Dalam pada itu, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyedari akan kehadiran Abu Jahal dan kawan-kawannya di situ. Baginda tidak pernah terfikir apa yang hendak dilakukan oleh Abu Jahal terhadap dirinya pada hari itu.

Sebaik-baik saja Abu Jahal melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mula bersembahyang, dia berjalan perlahan-lahan dari arah belakang menuju ke arah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Abu Jahal melangkah dengan berhati-hati, setiap pergerakannya dijaga, takut disadari oleh baginda.

Dari jauh kawan-kawan Abu Jahal memerhatikan dengan perasaan cemas bercampur gembira. Dalam hati mereka berkata, "Kali ini akan musnahlah engkau hai Muhammad."

Sebaik saja Abu Jahal hendak menghampiri Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menghayun batu yang dipegangnya itu, tiba-tiba secepat kilat dia berundur ke belakang. Batu yang dipegangnya juga jatuh ke tanah. Mukanya yang tadi merah kini menjadi pucat lesi seolah-olah tiada berdarah lagi. Rakan-rakannya yang amat ghairah untuk melihat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam terbunuh, tercengang dan saling berpandangan.

Kaki Abu Jahal seolah-olah terpaku ke bumi. Dia tidak dapat melangkahkan kaki walaupun setapak. Melihatkan keadaan itu, rakan-rakannya segera menarik Abu Jahal dari situ sebelum disadari oleh baginda. Abu Jahal masih terpinga-pinga dengan kejadian yang dialaminya.
Sebaik saja dia sedar dari kejutan peristiwa tadi, rakan-rakannya tidak sabar untuk mengetahui apakah sebenarnya yang telah berlaku. Kawannya bertanya, "Apakah sebenarnya yang terjadi kepada engkau, Abu Jahal? Mengapa engkau tidak menghempapkan batu itu ke kepala Muhammad ketika dia sedang sujud tadi?"

Akan tetapi Abu Jahal tetap membisu, rakan-rakannya semakin keheranan. Abu Jahal yang mereka kenali selama ini seorang yang lantang berpidato dan menyumpah seranah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tiba-tiba saja diam membisu.

Dalam pada itu, Abu Jahal masih terbayang-bayang akan kejadian yang baru menimpanya tadi. Dia seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, malah dia sendiri tidak menyangka perkara yang sama akan berulang menimpa dirinya.

Perkara yang sama pernah menimpa Abu Jahal sewaktu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pergi ke rumah Abu Jahal apabila seorang Nasrani mengadu kepada baginda bahwa Abu Jahal telah merampas hartanya. Pada masa itu Abu Jahal tidak berani berkata apa-apa pada baginda apabila dia terpandang dua ekor harimau menjadi pengawal peribadi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Kemudian setelah habis mereka menghujani Abu Jahal dengan pelbagai soalan, maka Abu Jahal pun mula bersuara, "Wahai sahabatku! Untuk pengetahuan kamu semua, sebaik saja aku menghampiri Muhammad hendak menghempapkan batu itu ke kepalanya, tiba-tiba muncul seekor unta yang besar hendak menendang aku. Aku amat terkejut kerana belum pernah melihat unta yang sebegitu besar seumur hidupku. Sekiranya aku teruskan niatku, nescaya akan matilah aku ditendang oleh unta itu, sebab itulah aku berundur dan membatalkan niatku."
Rakan-rakan Abu Jahal berasa amat kecewa mendengar penjelasan itu, mereka tidak menyangka orang yang selama ini gagah dan beria-ia hendak membunuh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya tinggal kata-kata saja. Orang yang selama ini diharapkan boleh menghapuskan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan pengaruhnya hanya berupaya bercakap seperti tin kosong saja.

Setelah mendengar penjelasan dari Abu Jahal yang tidak memuaskan hati itu, maka mereka pun berkata kepada Abu Jahal dengan perasaan keheranan, "Ya Abu Jahal, semasa kau menghampiri Muhammad tadi, kami memerhatikan engkau dari jauh tetapi kai tidak napak akan unta yang engkau katakan itu. Malah bayangnya pun kami tidak nampak."

Rakan-rakan Abu Jahal mula sangsi dengan segala keterangan yang diberikan oleh Abu Jahal. Mereka menyangka Abu Jahal sentiasa mereka-reka cerita yang karut itu, mereka mula hilang kepercayaan terhadapnya. Akhirnya segala kata-kata Abu Jahal mereka tidak berapa endahkan lagi.

On | 1 Comments

Ya Allah, dunia yang Engkau hamparkan ini indah, tetapi durinya sering menusuk. Nikmat yang Kau berikan takkan dapat untukku menghitungnya. Tetapi ya Allah, hambaMu ini sering alpa dan lena dek buaian mimpi yang tak sudah. Ya Allah, ujian yang Engkau berikan terasa begitu memeritkan, kadangkala ianya menguji kesabaran dan keimananku yang terkadang nipis, senipis kulit bawang. Ya Allah, jika ini ujian yang pantas untukku lalui, bantulah aku. Agar aku tidak tersasar dari jalanMu. Agar aku bisa bersyukur dengan ujianMu ini ya Allah.

Buat insan yang diuji, bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama-sama kamu. Percayalah, Allah mendengar segala tangisan dan kesedihanmu itu. Ingatlah ujian Allah ini bukan satu penyiksaan, tetapi hakikatnya engkaulah insan yang terpilih. Engkaulah insan yang layak menerima rahmat dan keredhaanNya, sekiranya engkau sabar dan redha. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah, ayat 214:

Adakah patut kamu menyangka bahawa kamu akan masuk syurga, padahal belum sampai kepada kamu (ujian dan cubaan) seperti yang telah berlaku kepada orang-orang yang terdahulu daripada kamu? Mereka telah ditimpa kepapaan (kemusnahan hartabenda) dan serangan penyakit, serta digoncangkan (oleh ancaman bahaya musuh), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman yang ada bersamanya: Bilakah (datangnya) pertolongan Allah?" Ketahuilah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat (asalkan kamu bersabar dan berpegang teguh kepada ugama Allah).

Terimalah takdir yang telah ditetapkan Allah untukmu wahai insan. Terimalah dengan hati yang terbuka, berlapang dadalah kamu dengan segala ketentuanNya. Kerana pasti akan ada kemanisan disebalik kepahitan yang engkau rasai.Wahai insan yang diuji, jangan sekali engkau merasa keseorangan. Sungguh, Allah sentiasa bersamamu. Setiap derita yang engkau lalui itu sering diiringi rahmat ujianNya, maka bersabarlah dan tabahlah. Firman Allah dalam surah Al-Furqan, ayat 20:

Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu (wahai Muhammad) melainkan orang-orang yang tentu makan minum dan berjalan di pasar-pasar, dan Kami jadikan sebahagian dari kamu sebagai ujian dan cubaan bagi sebahagian yang lain, supaya ternyata adakah kamu dapat bersabar (menghadapi ujian itu)? Dan (ingatlah) adalah Tuhanmu sentiasa Melihat (akan keadaan makhluk-makhlukNya).

Untuk insan yang diuji, sedang ramai teman-temanmu yang lalai diuji dengan kesenangan dan kekayaan mereka, tetapi engkau diuji dengan derita dan kesengsaraan. Sedarkah engkau wahai insan terpilih, engkaulah yang bertuah dan beruntung, kerana ujian yang diberikanNya membuatkan Engkau semakin dekat denganNya.Tidakkah engkau melihatnya? Tidakkah engkau menyedarinya? Bersyukurlah, bersyukurlah, bersyukurlah wahai insan yang dikasihi Allah.

On | 0 Comment

Begitu mudah sekali melontarkan keluhan. Keluhan demi keluhan keluar dari bibir tanpa disedari. Kita mengeluh atas perkara-perkara yang remeh. Kita mengeluh atas perkara-perkara yang tidak mendatangkan faedah. Kita mengeluh dan asyik mengeluh. Andai dapat ditukar setiap bait keluhan itu kepada wang ringgit, pasti terbasmi kemiskinan di muka bumi. Namun hairan, Kita mengeluh tatkala kita ditimbuni dengan pelbagai kesenangan.
Kita mengeluh kerana makanan kegemaran tidak disediakan, sedangkan perut semakin memboyot kekenyangan. Kita mengeluh kerana kepanasan, sedangkan angin semula jadi disediakan tanpa bayaran. Kita mengeluh atas sekelumit kekurangan, sedangkan kelebihan sebanyak buih dilautan dibiarkan.
Allah s.w.t berfirman "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, nescaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya" (An-Nahl: 18). Di saat kita tenggelam dalam keluhan diri sendiri, pancaindera kita tidak lagi mampu memainkan peranannya untuk melihat, mendengar, merasai dan menghayati pemberian Allah yang tiada henti-hentinya. Lantaran itu, begitu sukar sekali untuk menyebutkan kalimat Alhamdulillah sebagai tanda kesyukuran seorang hamba kepada khaliqnya. Itulah hakikitnya. Memang manusia sentiasa leka dan lupa. Manusia mempunyai keinginan yang tiada batasan. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki..Kecuali orang-orang yang bersyukur.
Pada zaman Sayyidina Umar al-Khattab, ada seorang pemuda yang sering berdoa di sisi Baitullah yang maksudnya: "Ya Allah! Masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit" Doa beliau didengar oleh Sayyidina Umar ketika beliau (Umar) sedang melakukan tawaf di Kaabah. Umar berasa hairan dengan permintaan pemuda tersebut. Selepas selesai melakukan tawaf, Sayyidina Umar memanggil pemuda berkenaan lalu bertanya: "Kenapakah engkau berdoa sedemikian rupa (Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit), apakah tiada permintaan lain yang boleh engkau mohon kepada Allah?" Pemuda berkenaan menjawab: "Ya Amirul Mukminin! Aku membaca doa berkenaan kerana aku (berasa) takut dengan penjelasan Allah seperti firman-Nya dalam surah al-A'raaf ayat 10 yang bermaksud:
"Sesungguhnya Kami (Allah) telah menempatkan kamu sekelian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber/jalan) penghidupan. (Tetapi) amat sedikitlah kamu bersyukur"
“Aku memohon agar Allah memasukkan aku dalam golongan yang sedikit, iaitu (lantaran) terlalu sedikit orang yang tahu bersyukur kepada Allah" jelas pemuda berkenaan. Mendengar jawapan itu, Umar al-Khattab menepuk kepalanya sambil berkata kepada dirinya sendiri: "Wahai Umar, alangkah jahilnya engkau, orang ramai lebih alim daripadamu"
SubhanaLlah. Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan yang sedikit ini, Amin...
Jadi, sama-samalah kita membina tekad untuk membanteras keluhan dan meningkatkan kesyukuran kerana Dia telah berjanji "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7)

On | 0 Comment

Siapakah kita untuk terus menjalani hidup dengan bahagia?

Sedangkan cabaran dan dugaan bila-bila akan menempuh hari yang bakal mendatang. Kadang kita diberi nikmat-Nya dan seringkali juga nikmat itu disalahguna. Kadang kita mengeluh dengan apa yang telah diatur, namun sememangnya manusia itu takkan lari dari mengeluh.
Tanya diri, berapa banyak keluhan kita dalam sehari berbanding pujian untuk-Nya? Itulah manusia.

“Apa jua jenis rahmat yang dibukakan oleh Allah kepada manusia, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menahannya; dan apa jua yang ditahan oleh Allah maka tidak ada sesuatu pun yang dapat melepaskannya sesudah itu. Dan (ingatlah) Dia lah sahaja yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” Surah Fatir:2

“Bertanyalah (wahai Muhammad kepada orang-orang musyrik itu): "Siapakah yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?" Terangkanlah jawabnya: "Ialah Allah; dan sesungguhnya (tiap-tiap satu golongan), sama ada golongan kami ahli tauhid atau golongan kamu ahli syirik - (tidak sunyi daripada salah satu dari dua keadaan): keadaan tetapnya di atas hidayah petunjuk atau tenggelamnya dalam kesesatan yang jelas nyata " Surah Saba':24

Lantas hari-hari yang berlalu dinikmati bersahaja, peringatan yang datang seakan angin yang menampar pipi. Tatkala angin berlalu pergi, kedinginan turut hilang. Kadangkala tangisan penuh sedar itu tiba, namun akan hadir jua perasaan putus asa terhadap keampunan-Nya. Seolah diri tidak akan diterima amalannya. Lantas amalan terputus begitu sahaja. Ditambah pula dengan dosa yang memujuk hati-hati yang sememangnya tidak ada ketenangan dalam diri.
“Katakanlah (wahai Muhammad): "Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (dengan perbuatan-perbuatan maksiat), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, kerana sesungguhnya Allah mengampunkan segala dosa; sesungguhnya Dia lah jua Yang Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” Surah Az-Zumar:53

Tatkala masa sibuk datang, rindu bertandang pada masa lapang. Hari dilalui dengan mengharap masa akan pantas berlalu. Sedangkan hari nyawa terpisah daripada jasad semakin pendek. Kesibukan yang menjadi ujian. Ada yang berusaha belajar dari kesilapan masa lalu. Ada yang berusaha mempelajari perkara yang membuatkan kesilapan datang. Kita tidak tahu, mungkin setelah ujian atau bala menimpa, barulah kita tersedar akan perkara yang kita anggap remeh ini amat mempengaruhi hari kebesaran kelak. Setakat manakah kita yakin hari itu bakal menjelang? Tepuk dada tanya iman.

“Manusia tidak jemu-jemu memohon kebaikan. Dan kalau ia ditimpa kesusahan maka menjadilah ia seorang yang sangat berputus asa, lagi sangat nyata kesan putus harapnya (dari rahmat pertolongan Allah).” Surah Fussilat:49

“Dan apabila Kami kurniakan nikmat kepada manusia, berpalinglah dia serta menjauhkan diri (dari bersyukur); dan apabila ia ditimpa kesusahan, maka ia berdoa merayu dengan panjang lebar.” Surah Fussilat:51

Kita memikirkan falsafah apakah yang mampu menyedarkan diri dan kesedaran yang hadir dengan rasa cinta dan takut untuk melakukan perkara yang mendatangkan dosa. Bilakah agaknya perasaan itu lahir? Beribu kali bermuhasabah diri namun jarang sekali istiqamah.
Tiap kali rasa manis beribadah itu hadir meresap dalam diri, masa yang sama kita rebah dengan ujian yang seringkali terlepas pandang pada hikmahnya.
“Sesungguhnya orang-orang yang sebenar-benarnya beriman hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka (terus percaya dengan) tidak ragu-ragu lagi, serta mereka berjuang dengan harta benda dan jiwa mereka pada jalan Allah; mereka itulah orang-orang yang benar (pengakuan imannya)” Surah al-Hujurat:15

Kesabaran amat mudah diungkapkan dengan kata-kata. Namun untuk meresap dalam jiwa amat berat sekali. Hati yang tiada tempat sandaran, akan sentiasa meragui usia perjalanannya. Tanpa iman di hati, sabar takkan bererti. Tanpa sabar iman takkan bermakna. Biarkan hati kita diterangi laluan yang sentiasa memujinya, tatkala kita melalui jalan itu,segala susah payah akan terbela. Tidak di dunia sekalipun, tapi Akhirat itu pasti!

“Demi sesungguhnya! Kami akan menguji kamu dengan sedikit perasaan takut (kepada musuh) dan (dengan merasai) kelaparan, dan (dengan berlakunya) kekurangan dari harta benda dan jiwa serta hasil tanaman. Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Iaitu orang-orang yang apabila mereka ditimpa oleh sesuatu kesusahan, mereka berkata: "Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali." Mereka itu ialah orang-orang yang dilimpahi dengan berbagai-bagai kebaikan dari Tuhan mereka serta rahmatNya; dan mereka itulah orang-orang yang dapat petunjuk hidayahNya.” Surah Al-Baqarah:155-157

Kesenangan di dunia tidak akan kekal selamanya. Titipkanlah dalam hati,biar kesenangan yang datang tidak akan menggelapkan iman, membutakan pandangan. Kemewahan itu antara lain adalah ujian buat kita. Tatkala kita ditimpa kemiskinan, diri mengeluh. Seolah-olah miskin itu membuatkan kita jauh dari-Nya.Ingatlah sesama kita. Ibadah bukan untuk dijual beli, nilainya pada pahala yang diberi daripada Yang Maha Menyintai. Kemewahan dunia bukan pada harta semata, tetapi kemenangannya pada orang-orang yang tetap mengerjakan solat dan diri yang penuh ketenangan. Ketenangan akan hadir sewaktu dalam diri yang menyintai ketetapan Allah.
“Dan (ingatlah), segala yang tersebut itu tidak lain hanyalah merupakan kesenangan hidup di dunia; dan (sebaliknya) kesenangan hari akhirat di sisi hukum Tuhanmu adalah khas bagi orang-orang yang bertaqwa.” Surah Az-Zukhruf:35

Al-Quran itu bukan setakat bacaan yang dilagukan lalu mencipta bait-bait yang syahdu didengari dan menusuk di jiwa. AlQuran itulah pemujuk kita. Walau dalam tangisan membaca amaran-amaran keras daripada Tuhan, masa yang sama diri akan redha dan tenang akan pujukan ayat-ayat Allah. Selagi nyawa belum berpisah, selagi itulah pintu taubat masih terbuka luas. Seandainya kita benar-benar memahami maksud kandungan AlQuran, akan bermain di fikiran betapa beratnya azab daripada Allah, betapa banyak dosa dalam diri. Tanyakan pada diri , berapa banyak kita melafaz kesyukuran dan menzahirkannya?
Sememangnya ayat-ayat itulah muhasabah terbaik buat manusia.Tangisan takkan berhenti mengenangkan nasib akhirat kelak.Tiada gunalah kecantikan diri jika sikitnya pahala untuk meniti titian mustaqim.

"Dan demi sesungguhnya! Kami telah berulang-ulang kali menyebarkan hujjah-hujjah di antara manusia melalui Al-Quran supaya mereka berfikir (mengenalku serta bersyukur); dalam pada itu kebanyakan manusia tidak mahu melainkan berlaku kufur." Surah Al-Furqaan:50

Cinta itu milik Allah. Segala yang di langit dan di Bumi milik Allah. Tiada yang kekal melainkan-Nya.Andai Dia menarik kembali nikmat yang diberikan, mungkin itu antara cara menyedarkan kita dan menambah pahala kita. Pelihara diri, saling berukhwah,ingat-mengingati. Permusuhan sesama saudara hanya membawa kemurkaan Allah. Kita semua inginkan syurga, namun mengapa membezakan dan membandingkan apa yang tersurat di pandangan kita, fikirkanlah apa yang tersirat. Pasti kekecewaan yang menggoyah iman tidak akan lahir. AlQuran benar-benar memujukku…meyakinkanku…
"Dan sesungguhnya (Al-Quran) itu tetap menjadi peringatan bagi orang-orang yang bertaqwa." Surah Al-Haqqah:48

"Dan sesungguhnya Al-Quran itu adalah kebenaran yang diyakini (dengan seyakin-yakinnya)." Surah Al-Haqqah:51

Lalu, aku pujuk temanku. Alunkanlah bacaan AlQuran itu, fahamilah maksudnya agar jiwa ketakutan pada Azabnya meresap dalam setiap nawaitu. Agar kita sentiasa mengingati mati. Semoga terpeliharalah iman dalam diri. Itulah muhasabah yang terbaik disisi-Nya. Pujuklah dirimu dengan Al-Quran.

On | 0 Comment